PANCASILA SEBAGAI DASAR FALSAFAH NEGARA DAN MAKNA FILOSOFISNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL

Tongat Tongat
DOI: 10.14710/mmh.41.3.2012.399-406
Copyright (c) 2012 Masalah-Masalah Hukum License URL: http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0

Abstract

Abstract

In more than three decades of government—especially in the era of New Order—Pancasila more "identical" with power. The interpretation and meaning of Pancasila more monopolized authority. Mean to be so symbolic. Pancasila was given more "quality" as symbols of ideological-normative that essentially  away from substantial meaning. Pancasila stuck in a world that is not honest and not authentic. Therefore, once the New Order collapsed, the community is reluctant, even shy away from speaking the Pancasila in public spaces. Reluctance and public anxiety to Pancasila actually pretty alarming in the context of national and state life. Therefore, implementing it in an honest—included in the national criminal law reform—is a necessity.

Key words : Pancasila, philosophy groundslag, penal reform

 

Abstrak

 

Dalam dua orde pemerintahan di Indonesia—khususnya pada era orde baru—Pancasila lebih ”diidentikkan” dengan kekuasaan. Penafsiran dan pemaknaannya lebih dimonopoli penguasa. Maknanya menjadi demikian simbolik. Ia lebih diberi ”bobot” sebagai simbol-simbol idiologis-normatif yang—sejatinya—menjauhkan dari makna substansialnya. Pancasila terpasung dalam dunia yang tidak jujur dan tidak otentik. Karenanya, begitu ketika Orde Baru runtuh, masyarakat enggan, bahkan menghindar untuk berbicara Pancasila di ruang publik. Keengganan dan kegamangan publik terhadap Pancasila sesungguhnya cukup mengkhawatirkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya, implementasinya secara jujur—termasuk dalam pembaharuan hukum pidana nasional—menjadi keniscayaan.

Kata Kunci : Pancasila, dasar falsafah negara, pembaharuan hukum pidana


Full Text: PDF

Keywords

Pancasila, philosophy groundslag, penal reform