2024-03-29T05:09:59Z
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/index/oai
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/20103
2020-04-17T15:53:36Z
jscl:EDT
Editorial
Utama, Mahendra Pudji
Izinkan tim redaksi membuka editorial dengan membagi kebahagiaan. Edisi ini tampil dalam suasana dan semangat baru yang menggembirakan, karena merupakan edisi pertama setelah Jurnal Sejarah Citra Lekha (JSCL) dinyatakan sebagai jurnal nasional terakreditasi berdasar SK Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi RI No. SK No. 21/E/KPT/2018, 9 Juli 2018.Ada enam artikel dalam edisi ini. Artikel pertama dari Hidayat dan Erond L. Damanik yang membahas tentang konstruksi identitas etnik dalam masyarakat Mandailing dan Angkota di Kota Medan dalam periode 1906-1939. Etnis Mandailing yang Islam mengidentifikasi diri sebagai Melayu dan menolak disebut Batak. Sebaliknya, etnis Angkota menegaskan Batak sebagai identitas mereka. Redefinisi identitas itu terjadi dalam situasi ketiadaan budaya dominan dan berelasi dengan persaingan untuk mendapatkan akses pada sumber daya material, ekonomi, dan politik. Konstruksi identitas itu terus direproduksi sampai saat ini, sehingga akulturasi dan asimilasi tidak mudah terwujud serta berpotensi menimbulkan proses sosial yang disosiatif. Di pihak lain, I Made Pageh menyajikan temuan yang penting dan menarik dalam sistem religi lokal Bali. Melalui mimikri dan hibridisasi, religi lokal itu dapat berfungsi sebagai wahana untuk mengintegrasikan umat Hindu dan Islam di Bali. Dua artikel berikutnya berusaha menggali nilai-nilai budaya dalam karya sastra yang dapat dijadikan basis untuk membangun kehidupan yang lebih baik pada masa kini. Artikel pertama dari Siregar, Djono, dan Leo Agung yang menelaah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk karya Willem Iskandar untuk mengungkap nilai-nilai pendidikan dalam kebudayaan masyarakat Tapanuli Selatan; sedangkan artikel kedua dari Awaludin Nugraha berusaha menggali pemikiran Bupati Sumedang P.A.A. Soeria Atmadja (menjabat pada 1883-1919) mengenai pembangunan berkelanjutan berbasis moral yang tertuang dalam karyanya yang berjudul Di Tioeng Memeh Hudjan. Gagasan P.A.A. Soeria Atmadja melampaui zamannya karena telah dirumuskan jauh sebelum negara-negara Barat mengembangkan konsep pembangunan berkelanjutan pada 1980-an. Artikel berikutnya dari Rabith Jihan Amaruli yang membahas mengenai Sumpah Pemuda Arab pada 1934 yang menjadi cikal-bakal organisasi Arab-Hadrami nasionalis pertama di Indonesia, yaitu Persatuan Arab Indonesia. Topik ini menjadi penting dalam kaitannya dengan fenomena Arabisme yang berkembang akhir-akhir dan terkesan berseberangan dengan nasionalisme Indonesia. Edisi ini ditutup dengan artikel Dhanang Respati Puguh dan Mahendra Pudji Utamatentang peranan pemerintah dalam mengembangkan wayang orang panggung Sriwedari, Ngesti Pandowo, dan Bharata. Ketiga wayang orang panggung itu dapat bertahan sampai kini antara lain berkat adanya dukungan dari pemerintah. Namun demikian pemerintah diharapkan tidak hanya memberi dukungan yang bersifat artifisial, melainkan mengambil peranan yang lebih fundamental sebagai patron-seni. Dalam garis itu, pemerintah perlu menyusun kebijakan budaya sebagai dasar bagi pengembangan wayang orang panggung dan berbagai bentuk kesenian tradisi atau budaya lokal pada umumnya dalam kerangka kebudayaan nasional.Tulisan-tulisan dalam JSCL edisi ini akan menemukan arti penting ketika kita meletakkannya dalam konteks perkembangan Indonesia kontemporer yang begitu dinamis dan cenderung membuka peluang bagi terjadinya konflik. Kebebasan berpendapat diekspresikan secara leluasa melalui penggunaan (atau penyalahgunaan) simbol-simbol budaya yang mudah memantik sentimen SARA, suatu yang sensitif dalam masyarakat majemuk. Hal ini tampak misalnya dalam pelaksanaan Pemilukada serentak pada 2018 dan, tentu sangat tidak diharapkan, barang kali masih akan terus berlanjut mengingat Indonesia akan segera memasuki tahun politik 2019. Seruan untuk menciptakan suasana yang sejuk dan damai kehilangan gaungnya dan seolah-olah tidak berarti, tenggelam oleh gegap gempita euforia demokrasi. Di tengah-tengah situasi itu, para kontributor dalam JSCL edisi mengajak kita untuk mengembangkan sensibilitas dengan belajar dari sejarah. Mereka dengan caranya masing-masing mendorong kita untuk mencari inspirasi dari kearifan masyarakat Nusantara yang dapat dikembangkan sebagai modal penting untuk menambal retak-retak pada perahu besar Indonesia, sehingga dapat melanjutkan pelayaran menuju kehidupan bersama sebagai negara-bangsa yang harmonis, damai, adil-makmur, dan sentosa.Tidak ada yang lebih pantas dikatakan selain ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para kontributor yang telah bersedia membagi pengetahuan yang mencerahkan. Tim redaksi selalu bekerja keras agar JSCL yang kita cintai ini menjadi jurnal yang semakin berkualitas.Salam hangat dan selamat membaca
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2018-09-01
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/20103
10.14710/jscl.v3i2.20103
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 3, No 2 (2018): Konflik dan Etnisitas; 69-70
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/20103/pdf
Copyright (c) 2018 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/11855
2020-04-17T15:50:28Z
jscl:EDT
EDITORIAL
Sulistiyono, Singgih Tri
editorial, pengembangan, negara maritim
Jika ada pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara maritim yang terbesar, maka pendapat tersebut tidak lah salah. Laut yang memisahkan daratan terbukti tidak menjadi pemisah, tetapimerupakan jembatan penghubung kehidupan dalam segala aspeknya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Pelayaran dan perdagangan misalnya, juga telah berkembang dengan berbagai macam bentuk dan tipe. Oleh karena itu, Indonesia dapat pula disebut sebagai kawasan kepulauan (insular region) yang paling luas di dunia. Indonesia memiliki pulau paling banyak di dunia, yaitu sekitar 18.108 pulau baik besar maupun kecil. Kurang lebih dua per tiga wilayah Indonesia berupa perairan laut (Purwaka, 1989; Lihat juga Kamaludin, 2005).
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2016-02-27
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/11855
10.14710/jscl.v1i1.11855
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 1, No 1 (2016): Maritime State Development; 1-2
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/11855/9068
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/22423
2020-04-17T15:54:05Z
jscl:EDT
Editorial
Amaruli, Rabith Jihan
Editorial JSCL edisi kali ini mengangkat tiga isu utama, yakni historiografi dalam balutan politik ingatan, identitas kota, dan warisan budaya. Historiografi adalah proses rekonstruksi sejarah dengan asumsi bahwa masa lampau sebagai aktualitas adalah sebuah konstruksi sebagai hasil dari proses-proses sosial dengan segala kompleksitasnya (Garraghan, 1957: 396). Sejak karya Bambang Purwanto (2006) berjudul Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! mewarnai diskursus historiografi Indonesia, sejarawan mulai mempertanyakan kembali atau setidaknya menggagas kembali, historiografi Indonesiasentris yang dianggap gagal menyajikan realitas historis yang “manusiawi”. Senada dengan gagasan Purwanto, Singgih Tri Sulistiyono (2016) menggugat ketidakmampuan historiografi Indonesia untuk ikut ambil bagian dalam memecahkan persoalan bangsa. Hal ini karena, masih menurut Sulistiyono, disebabkan oleh keterbelengguan pada formalisme metodologi dan epistemologi serta oleh sikap kurang berani sejarawan untuk menggugat realitas kekinian.
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2019-03-18
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/22423
10.14710/jscl.v4i1.22423
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 4, No 1 (2019): Politik Ingatan, Identitas Kota, dan Warisan Budaya; 1-2
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/22423/pdf
Copyright (c) 2019 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/12808
2018-04-05T10:17:11Z
jscl:EDT
Editorial
Utama, Mahendra P.
JSCL edisi ini mengusung tema mengenai konflik dan integrasi sosial, dua realitas yang selalu mengiringi perjalanan sejarah masyarakat di mana pun baik masyarakat skala kecil maupun besar. Konflik dan integrasi juga menjadi isu yang selalu penting di Indonesia. Sejumlah studi yang telah disunting oleh Colombijn dan Lindblad (2002), Stokhof dan Djamal (2003), dan van Bemellen dan Raben (2011) memuat daftar panjang konflik di Indoneisa pada periode 1950-an hingga 1990-an. Studi-studi itu sekaligus menginspriasi kita untuk melihat kembali narasi besar tentang integrasi bangsa.
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2016-08-23
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/12808
10.14710/jscl.v1i2.12808
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 1, No 2 (2016): Conflict and Integration; 69-70
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/12808/9599
Copyright (c) 2016 Jurnal Sejarah Citra Lekha
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/27277
2020-05-16T09:27:29Z
jscl:EDT
Editorial
Amaruli, Rabith Jihan
Nasionalisme; Demokrasi; Identitas
Puji syukur kehadirat Tuhan YME, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4 No. 2, 2019 dapat terhidang kembali di hadapan pembaca dengan topik nasionalisme, demokrasi, dan identitas. Pemilihan tema ini didasarkan pada fenomena panggung politik baik di aras lokal maupun nasional yang diwarnai oleh nasionalisme, gagasan demokrasi, dan identitas yang semakin memudar. Setelah 74 tahun Kemerdekaan RI, orang masih mempertanyakan kembali, perlukah sebuah identitas kebangsaan? Setelah 21 tahun pasca-Reformasi 1998, orang masih membahas kembali, apakah perbincangan tentang nasionalisme Indonesia masih relevan? Padahal, meminjam konsepsi Taufik Abdullah, nasionalisme adalah wujud dialektika yang dinamis di mana setiap generasi mempunyai tantangan (challenge) dan jawaban (response) yang berbeda. Namun, esensi nasionalisme tetaplah sama, yaitu rasa cinta yang dalam terhadap bangsa dan tanah airnya (Adisusilo, 2009: 3). Bahkan, memasuki abad ke-21, “Reformasi” masih harus bergumul dengan berbagai corak ujian (Abdullah, 2016: 19). Tuntutan perubahan yang semula di panggung politik, terus menyelinap ke seluruh aspek kehidupan, seperti sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Oleh karena itu, membincangkan nasionalisme Indonesia dengan dua aspek utama yang mengikutinya, yakni demokrasi dan identitas, akan selalu penting dan aktual.
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2019-12-12
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/27277
10.14710/jscl.v4i2.27277
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 4, No 2 (2019): Nasionalisme, Demokrasi, dan Identitas; 87-88
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/27277/pdf
Copyright (c) 2019 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/15054
2020-04-17T15:51:04Z
jscl:EDT
Editorial
Amaruli, Rabith Jihan
Aspek kebudayaan telah lama tidak menjadi perhatian para pemangku kebijakan. Orientasi pembangunan nasional yang melulu pada pembangunan fisik (sarana dan prasarana), dan karenanya pendekatan yang digunakan pun sangat materialistis, telah menempatkan kebudayaan sebagai “anak tiri” pembangunan. Beberapa peristiwa politik nasional yang berkembang, mau tidak mau memaksa kita untuk kembali melihat kebudayaan dengan segala aspeknya, termasuk di dalamnya adalah penciptaan identitas kelompok yang semakin menguat. Ketika dahulu orang Indonesia berupaya untuk meleburkan diri dengan kelompok-kelompok arus utama (baik politik mapun budaya), saat ini orang menjadi semakin butuh untuk memiliki identitas yang berbeda dengan yang lain. Ketika sebelumnya menjadi liyan (orang lain) adalah sesuatu yang “tabu” dan senantiasa dihindari, saat ini orang Indonesia justru berusaha keras untuk menjadi apa yang disebut dengan liyan itu
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2017-06-20
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/15054
10.14710/jscl.v2i1.15054
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 2, No 1 (2017): Politik Kebudayaan; 1-3
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/15054/pdf
Copyright (c) 2017 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/29722
2020-11-04T08:48:04Z
jscl:EDT
Editorial
Amaruli, Rabith Jihan
Sejak buku Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah diterbitkan pada 2008, dunia penulisan sejarah di Indonesia kembali dimeriahkan dengan diskursus mengenai hakikat ilmu sejarah dan bagaimana penjelasan sejarah dilakukan. Buku yang seolah menjadi karya trilogi tentang metodologi sejarah terakhir Kuntowijoyo, di samping Pengantar Ilmu Sejarah (1995, 2013, ed. baru) dan Metodologi Sejarah (1994, 2003, ed. kedua) itu, telah memperkuat kembali pendapat yang menyatakan bahwa hakikat sejarah adalah ilmu yang mandiri, yakni memiliki filsafat ilmu sendiri, permasalahan sendiri, dan penjelasan sendiri (Kuntowijoyo, 2008: 2). Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa sehubungan dengan jenis ilmu, ada tiga hal prinsip yang harus diperhatikan oleh para sejarawan, yakni penjelasan sejarah adalah tentang 1) menafsirkan (hermeneutics) dan mengerti (verstehen); 2) penjelasan tentang waktu yang memanjang; dan 3) penjelasan tentang peristiwa tunggal. Prinsip-prinsip tersebut telah memupuk kepercayaan diri banyak sejarawan untuk menyusun tulisan sejarah dalam ragam aspek dan perspektif. Hal ini pula tampaknya yang menjadi karakter artikel pada Jurnal Sejarah Citra Lekha Edisi Vol.5 No.1, 2020 kali ini dengan tema etnisitas, identitas, dan kebudayaan.
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2020-04-24
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/29722
10.14710/jscl.v5i1.29722
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 5, No 1 (2020): Etnisitas, Identitas, dan Kebudayaan; 1-2
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/29722/pdf
Copyright (c) 2020 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/16599
2020-04-17T15:52:01Z
jscl:EDT
Editorial
Amaruli, Rabith Jihan
Pada mulanya politik dianggap sebagai tulang punggung sejarah, demikian dinyatakan oleh Kuntowijoyo (2003: 174). Oleh karena itu pula, lanjutnya, teks-teks sejarah selalu berisi rentetan kejadian mengenai raja, negara, bangsa, pemerintahan, parlemen, pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan, dan interaksi antara kekuatan-kekuatan itu dalam memperebutkan kekuasaan. Namun demikian, anggapan ini pun mengalami perubahan. Sejarah semakin diperluas dengan berbagai aspek lain di luar politik, yakni dengan kemunculan sejarah sosial, sejarah ekonomi, dan sejarah kebudayaan. Hal itu karena, orang mulai meragukan keterkaitan antara sejarah dan politik dalam hubungan yang melulu tentang kekuasaan. Selain itu, cara orang melihat dan mengerjakan sejarah politik itu sendiri pun, mulai berubah. Akibatnya, tema-tema dalam sejarah politik pun semakin berkembang, dengan kemunculan sejarah politik tentang lingkungan, keagamaan, perkotaan, bahkan pendidikan. Tema-tema inilah yang menjadi warna dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha Volume 2, Nomor 2 Tahun 2017 kali ini.Pada mulanya politik dianggap sebagai tulang punggung sejarah, demikian dinyatakan oleh Kuntowijoyo (2003: 174). Oleh karena itu pula, lanjutnya, teks-teks sejarah selalu berisi rentetan kejadian mengenai raja, negara, bangsa, pemerintahan, parlemen, pemberontakan, kelompok-kelompok kepentingan, dan interaksi antara kekuatan-kekuatan itu dalam memperebutkan kekuasaan. Namun demikian, anggapan ini pun mengalami perubahan. Sejarah semakin diperluas dengan berbagai aspek lain di luar politik, yakni dengan kemunculan sejarah sosial, sejarah ekonomi, dan sejarah kebudayaan. Hal itu karena, orang mulai meragukan keterkaitan antara sejarah dan politik dalam hubungan yang melulu tentang kekuasaan. Selain itu, cara orang melihat dan mengerjakan sejarah politik itu sendiri pun, mulai berubah. Akibatnya, tema-tema dalam sejarah politik pun semakin berkembang, dengan kemunculan sejarah politik tentang lingkungan, keagamaan, perkotaan, bahkan pendidikan. Tema-tema inilah yang menjadi warna dalam Jurnal Sejarah Citra Lekha Volume 2, Nomor 2 Tahun 2017 kali ini.
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2017-11-22
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/16599
10.14710/jscl.v2i2.16599
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 2, No 2 (2017): Sejarah Politik; 82-83
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/16599/pdf
Copyright (c) 2017 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/35475
2021-01-15T23:44:45Z
jscl:EDT
Editorial
Amaruli, Rabith Jihan
Perempuan; Perdagangan; Formasi Identitas
Puji syukur ke hadirat Tuhan YME, rasanya adalah kalimat yang paling pantas, untuk menandai penerbitan Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 5 (2) 2020 ini. Edisi yang ditertibkan di penghujung pergantian tahun ini, sekaligus menjadi wujud semangat tim editorial Jurnal Sejarah Citra Lekha untuk tetap produktif di tengah pandemi Covid-19. Kondisi pandemi, tidak hanya telah mengubah cara hidup masyarakat, tetapi juga mengubah (atau setidaknya mempengaruhi), habitus bagaimana kajian-kajian sejarah dilakukan. Salah satunya adalah akses sumber-sumber sejarah yang dahulu “harus” diperoleh secara luring, saat ini didominasi cara-cara daring. Sebagai akibat dari pandemi, beberapa situs penyedia sumber, buku, jurnal, dan surat kabar, yang dahulu terbatas serta berbayar, saat ini keterbatasan tersebut telah dibuka seluas-luasnya.
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2020-12-31
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/35475
10.14710/jscl.v5i2.35475
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 5, No 2 (2020): Perempuan, Perdagangan, dan Formasi Identitas; 85-86
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/35475/pdf
Copyright (c) 2021 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0
oai:ojs.ejournal.undip.ac.id:article/18353
2020-04-17T15:52:51Z
jscl:EDT
Editorial
Utama, Mahendra Pudji
Amaruli, Rabith Jihan
Reformasi telah berjalan selama 20 tahun. Namun, persoalan integrasi nasional tetap mengemuka dalam masyarakat Indonesia. Politik identitas yang berbasis primordialisme seperti agama, suku, dan antargolongan sering kita lihat dan menjadi konsumsi masyarakat. Jika persoalan tidak mendapatkan perhatian, ancaman disintegrasi bangsa yang berakar dari perpecahan sosial akan semakin meningkat. Realitas itu menginspirasi tim redaksi Jurnal Sejarah Citra Lekha untuk mengangkat tema khusus pada edisi ini, yakni integrasi nasional dan multikulturalisme. Secara sederhana, integrasi nasional dapat didefinisikan sebagai upaya untuk menyatukan seluruh unsur suatu bangsa dengan pemerintah dan wilayahnya. Proses penyatuan itu mencakup berbagai kelompok sosial dan budaya dalam satu wilayah dalam membentuk identitas nasional serta membangun rasa kebangsaan dengan menghapus kesetiaan pada ikatan-ikatan primordial. Strategi ini penting mengingat, sebagai sebuah bangsa dengan budaya yang begitu beragam, Indonesia akan terus mengalami ancaman dari luar. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan, integrasi nasional juga akan selalu berhadapan dengan persoalan internal seperti gaya politik kepemimpinan, kekuatan lembaga-lembaga politik, ideologi nasional, dan kesempatan pembangunan ekonomi. Nilai-nilai fundamental yang disepakati dan dijadikan rujukan bersama penting untuk selalu dipromosikan sebagai upaya untuk menghasilkan integrasi nasional tidak lain karena integrasi nasional merupakan conditio sine qua non yang harus dipenuhi untuk mencapai kejayaan nasional.
Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University
2018-03-31
info:eu-repo/semantics/article
info:eu-repo/semantics/publishedVersion
application/pdf
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/18353
10.14710/jscl.v3i1.18353
Jurnal Sejarah Citra Lekha; Vol 3, No 1 (2018): Integrasi Nasional; 1-2
2443-0110
eng
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/18353/pdf
Copyright (c) 2018 Jurnal Sejarah Citra Lekha
http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0