skip to main content

Dari Ritual Menjadi Festival: Profanisasi Ritual Adat Kematian Babukung (Studi Kasus Desa Riam Tinggi, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah)

*Safrial Fachry Pratama  -  Departemen Antropologi, FIB, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Setiadi Setiadi  -  Departemen Antropologi, FIB, Universitas Gadjah Mada, Indonesia
Open Access Copyright 2025 Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi under http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/4.0.

Citation Format:
Abstract

Ritual adat kematian Babukung saat ini memasuki babak baru dengan diadakannya festival Babukung di Kabupaten Lamandau yang menjadi agenda tahunan. Di satu sisi adanya festival tersebut dirasa menguntungkan karena dapat menaikkan citra daerah melalui sejumlah Rekor MURI yang didapat, namun pada sisi lain ada kelompok masyarakat yang merasa termarjinalisasi dengan diadakannya festival tersebut yang berlatar belakang dari ritual adat kematian Babukung yang telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat Dayak Tomun di Kabupaten Lamandau. Saat ini Babukung menjadi sebuah tontonan yang bisa dilihat setiap tahunnya sehingga hal tersebut dianggap telah melewati batas-batas kesakralan yang ada karena Babukung diadakan hanya saat ada orang kaharingan yang meninggal namun tidak pada kondisi saat ini. Penelitian ini membahas mengenai dinamika proses profanisasi, serta melihat dengan rinci bagaimana pandangan warga di Desa Riam Tinggi, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah terhadap praktik-praktik yang sudah terjadi. Pembahasan difokuskan analisis bentuk-bentuk perubahan nilai sakral menjadi profan yang terjadi pada ritual adat kematian Babukung. Metode penelitian pada tulisan ini menggunakan pendeketan kualitatif dengan jenis studi etnografi. Proses pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, dokumentasi dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan pertama fenomena profanisasi terjadi karena festival Babukung yang saat ini diadakan sudah tidak lagi menggunakan ritual-ritual yang biasa digunakan untuk pemain bukung, untuk jenazah, hingga ritual pasca ritual adat tersebut dilaksanakan. Hal ini diperparah kembali dengan diadakannya festival Babukung yang tidak lagi ketika ada orang meninggal, namun dijadikan sebagai ajang kompetisi yang sifatnya komersil. Kedua, adanya profanisasi juga dikarenakan kekuasaan institusi adat saat yang dengan mudah mengubah hal-hal yang sifatnya sakral menjadi profan serta tidak lagi mengedepankan unsur-unsur adat dan lebih banyak bekerjasama dengan pemerintah desa yang sifatnya transaksional. Serta yang ketiga, selain dijadikan komodifikasi, pelemahan terjadi juga pada umat-umat kaharingan yang saat ini jumlahnya makin sedikit yang berjumlah 12 orang pemeluk saja menurut data dari Prodeskel Dirjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri Tahun 2025 sehingga dengan mudah bisa dijadikan sebagai sarana dan media untuk melegitimasi kekuasaan-kekuasaan tertentu. Dengan beragamnya pelemahan dan pergeseran nilai yang sudah terjadi menunjukkan bahwa saat ini sebagian besar orang menganggap adat sebagai hal yang biasa tanpa ada kesakralan yang hakiki di dalamnya. Sehingga pengaburan pemahaman saat ini juga dikuatkan dengan alasan-alasan pelestarian tradisi menjadi modal utama untuk menggeser nilai-nilai sakral menjadi profan pada ritual adat.

Kata kunci : Profanisasi, Ritual adat Babukung, Festival, Umat Kaharingan, Institusi Adat
Fulltext View|Download

Article Metrics:

  1. Agamben, G., & Fort, J. (2007). In Praise Of Profanation. Log, 10, 23–32. http://www.jstor.org/stable/41765153
  2. Barnes, S. T. (1990). Ritual, power, and outside knowledge. Journal of Religion in Africa, 248-268
  3. Boissevain, J. (2016). The dynamic festival: ritual, regulation and play in changing times. Ethnos, 81(4), 617-630
  4. Buksinski, T. (2017). The Sacralization of the Profane and the Profanation of the Sacred: The Case of Eastern Europe. The Secular and the Sacred, 165
  5. Dey, N. P. H., & Djumaty, B. L. (2019). Modal Sosial Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten, Dalam Melestarikan Kearifan Lokal Di Kabupaten Lamandau, Provinsi Kalimantan Tengah. Civic-Culture: Jurnal Ilmu Pendidikan PKn Dan Sosial Budaya, 3(1)
  6. Durkheim, É. (1912). The Elementary Forms of Religious Life. Free Press
  7. Eka, N., Mariatie, M., Hendri, H., & Santika, N. W. R. (2018). Dinamika Ritual Bebantan Laman Pada Masyarakat Dayak Tomun Di Kecamatan Delang Kabupaten Lamandau. Bawi Ayah: Jurnal Pendidikan Agama dan Budaya Hindu, 9(1), 65-85
  8. Ekatni, A. T., Jumrio, E., & Adinuhgra, S. (2022). Pengikat Toleransi Suku Dayak Tomun Arut. Sepakat: Jurnal Pastoral Kateketik, 8(2), 49-57
  9. Kurune, A. (2020). Luha Bukung (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta)
  10. Liadi, F., Jasiah, J., Qudsiyah, U., Harun, M., Madi, M., Agon, A., ... & Andriyani, E. (2024). Cultural Representation of Babukung Dance Funeral Ceremony Ritual of The Dayak Tomun Tribe as a Media for Character Building through Local Wisdom. Millati: Journal of Islamic Studies and Humanities, 9(1), 81-102
  11. Peirano, M. G. (2000). The anthropological analysis of rituals (No. 272). Departamento de Antropologia, Universidade de Brasília
  12. Polgovsky Ezcurra, M. (2016). Shaman, thespian, saboteur: Marcos Kurtycz and the ritual poetics of institutional profanation
  13. Rahayu, Y. M. (2018). Liga'Tiga (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta)
  14. Scott, J. C. (1977). Protest and profanation: Agrarian revolt and the little tradition, part I. Theory and Society, 4(1), 1-38
  15. Turner, V. (1982). From ritual to theatre: The human seriousness of play (Vol. 1). Performing arts journal publ
  16. Yonathan, E. (2021). Bagondang dalam Upacara Pernikahan Adat di Desa Bakonsu, Kecamatan Lamandau, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah (Doctoral dissertation, Institut Seni Indonesia Yogyakarta)

Last update:

No citation recorded.

Last update: 2025-06-07 21:34:46

No citation recorded.