PENERAPAN SAKSI PIDANA KORPORASI PADA BANK DAN IMPLIKASINYA

Yudha Ramelan
DOI: 10.14710/mmh.48.1.2019.80-97
Copyright (c) 2019 Masalah-Masalah Hukum License URL: http://creativecommons.org/licenses/by-nc/4.0

Abstract

A criminal act by corporation is criminal offense that can be asked for criminal liability to the  corporation in accordance with the laws and regulations concerning the corporation. Banks as corporate legal entities can be prosecuted before the law and tried if in carrying out their business activities the bank is suspected of committing a crime that is threatened with criminal sanction, including committing a crime of money laundering or corruption. Corporation  can be punished  to pay fine penalties and other additional penalties such as dissolution or revocation of business licenses. As a trust-based financial institution, if a bank commits a crime, the impact caused by the crime is not only detrimental to the bank itself, damages the reputation of the bank but also harms the community of depositors and other parties responsible for handling bank resolutions. Looking at the impact, the application of corporate criminal responsibility to banks must be carried out carefully and selectively. If these sanctions happen to a large-scale bank (systemic bank),  it can be multiple effects cause.


Full Text: PDF

Keywords

Bank as corporation; Implementation of corporate crime; The impact of implementaion criminal sanction

References

Buku dan Internet:

Hanafi (1997), “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”, Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia..

Kristian (2015), “Hukum Pidana Korporasi”, Nuansa Aulia, Bandung.

Priyatno, Dwidja Priyatno (2004), “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia”, Bandung, CV Utomo.

Prodjodikoro, Wirjono (2010), “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, Refika Aditama, Bandung,.

Pramono, Nindyo (2006), ”Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual”, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006.

Sutan Remi Sjahdeini (2006), “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Jakarta: Grafiti Pers.

https://definitions.uslegal.com/c/corporate-crime/diakses pada tanggal 13 November 2017

Peraturan Perundang-undangan:

Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4902.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5204.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872.

Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Perbankan.

Indonesia, Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Oleh Koporasi, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 2058, Berita Negara Republik Indonesia Nomor .

Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11 /POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 250, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58748.

Endnotes

Wirjono Prodjodikoro, “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia“, Refika Aditama, Bandung, 2010.

Loebby Loqman , “Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian”, Jakarta, Datacom, 2002,hal. 32.

Penempatan korporasi sebagai subjek hukum dan atas perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sudah dikenal dalam Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi yang menyatakan: “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya”.

https://definitions.uslegal.com/c/corporate-crime/diakses pada tanggal 13 November 2017

Lihat Pasal 4 Perma Tipi Korporasi.

Lihat Pasal 6 Perma Tipi Korporasi.

Salah satu penyebab bubarnya korporasi dikarenakan adanya pencabutan izin usaha perseroan, sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 1 angka 7 Perma Tipi Korporasi).

Dwidja Priyatno, “Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia”, Bandung, CV Utomo, 2004, hal. 27.

Pidana denda adalah suatu hukuman untuk membayar sejumlah uang akibat dari perbuatan pidana yang terjadi. Besarnya pidana denda diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, dan pengenaan besarannya ditetapkan oleh putusan hakim/pengadilan.

Pembayaran uang pengganti diterapkan untuk tindak pidana korupsi (besarannya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi).

Restitusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah ganti rugi atau pembayaran kembali.Restitusi dapat diartikan sebagai return of restoration of some specific thing to its rightful owener or status atau mengembalikan/memperbaiki beberapa hal khusus yang berkaitan dengan kepemilikan atas status. Dalam hukum pajak restitusi dimaknai sebagai pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Dalam Pasal 146 UU PT, atas permohonan jaksa, pengadilan dapat membubarkan korporasi yang melakukan perbuatan melanggar peraturan perundangan-undangan.

Dalam UU tentang TPPU maupun UU tentang Terorime, pelaku tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Kristian SH, “Hukum Pidana Korporasi”, Nuansa Aulia, Bandung, 2015, hlm 47

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 (“UU Perbankan”).

Jenis perbuatan komisaris, direksi dan pihak terafiliasi yang termasuk dalam perbuatan yang melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana dirumuskan dalam Pasal 94 s.d. Pasal 99 RUU Perbankan.

Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan harus dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit (vide POJK No. 11 /POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum).

Lihat Pasal 11 Perma Tipi Korporasi dan Pasal 20 UU Tipikor.

Lihat Pasal 32 Perma Tipi Korporasi

Nindyo Pramono,”Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual”, PT.Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2006, hal. 243.

Pidato ini diucapkan pada tanggal 12 Maret 1933 sewaktu mengumumkan berakhirnya bank holiday sebagai akibat terjadinya krisis perbankan di Amerika Serikat.

Dalam Pasal 37 UU Perbankan dinyatakani:

(1) Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia (* kini Otoritas Jasa Keauangan) dapat melakukan tindakan agar:

a. Pemegang saham menambah modal;

b. Pemegang saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

c. Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;

d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;

f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;

g. Bank menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau pihak lain.

Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan.

Dalam Pasal 2 POJK No. 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dinyatakan bahwa bank wajib menyediakan modal minimum (KPMM) sesuai profil risiko, yaitu paling rendah sebesar 8% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) dengan profil risiko peringkat 1 dan paling tinggi sebesar 11% dengan profil risiko peringkat 1. KPMM tersebut dapat diperbesar jika bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan modal lebih besar.

Membangun kembali reputasi bank yang tersangkut perkara hukum memang bukan pekerjaan yang mudah sebagaimana terjadi pada PT Bank Century, Tbk yang hingga kini walaupun sudah dilakukan penjualan kepada pihak lain, permasalahan hukum masih membayangi perjalanan hidup (operasional) bank tersebut.

Dalam Pasal 54 UU LPS diatur mengenai tata urutan pembayaran hasil likuidasi dimana LPS berkedudukan sebagai kreditur preferen dan berada diurutan keempat setelah biaya-biaya yang terkait dengan talangan (gaji terutang, pesangon pegawai, biaya: pengadilan, lelang, operasional kantor) dan di atas pajak terutang maupun hak kreditur lainnya.

PT Bank Century, Tbk merupakan bank yang dilakukan penyelamatan oleh negara cq. Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun 2008 setelah sebelumnya dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang terdiri dari Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.

Selain Bank Century, JPU juga menuntut pemegang saham pengendali Bank Century yaitu Hesham Talaat Mohamed Besheer Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi sebesar Rp3,115 triliun, serta Robert Tantular sebesar Rp2,753 triliun.

Sutan Remi Sjahdeini, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi”, Jakarta: Grafiti Pers, 2006, hal. 84.

Hanafi, “Strict Liability dan Vicarious Liability” dalam “Hukum Pidana”, Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Universitas Islam Indonesia, 1997, hal.34.

Jika kondisi keuangan Bank Mutiara memburuk maka Lembaga Penjamin Simpanan selaku pemegang saham dari Bank Mutiara berkewajiban untuk melakukan suntikan dana kembali guna menjaga dan mempertahankan kondisi keuangan Bank Mutiara agar tetap baik dan sehat sesuai ketentuan tingkat kesehatan bank yang ditetapkan. Seandainya tuntutan JPU dikabulkan pengadilan maka LPS harus menyuntik kembali Bank Mutiara sebesar jumlah putusan uang pengganti. Sehingga total dana PMS yang harus dikeluarkan LPS sebesar Rp9,592 triliun yang terdiri dari Rp6,76triliun (PMS awal) + Rp 1,250 triliun (PMS tambahan) + Rp1,582 triliun (uang pengganti).