BibTex Citation Data :
@article{JHP23612, author = {W.P. Djatmiko}, title = {REKONSTRUKSI BUDAYA HUKUM DALAM MENANGGULANGI CAROK DI MASYARAKAT MADURA BERDASAR NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI SARANA POLITIK KRIMINAL}, journal = {Jurnal Hukum Progresif}, volume = {7}, number = {1}, year = {2019}, keywords = {carok, kebijakan kriminal, budaya hukum, sistem peradilan informal}, abstract = { Tulisan ini mencoba mengungkap carok sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama, dan perselisihan atas tanah dan sumber daya alam di Madura. Meskipun ada banyak upaya untuk mengatasi keadilan main hakim sendiri ini, pada kenyataannya, tindakan ini tetap ada sampai sekarang. Oleh karena itu, gagasan untuk merekonstruksi budaya hukum beberapa orang Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk menyelesaikan carok diharapkan mengubah situasi. Ada tiga (3) masalah penting yang dibahas, yaitu: (1) Mengapa beberapa orang Madura memilih carok sebagai solusi alternatif? (2) Apa persepsi sebagian orang Madura tentang penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama, dan perselisihan sumber daya alam sehingga mereka memilih carok sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah? (3) Bagaimana merekonstruksi budaya hukum untuk mengatasi carok di Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai alat kebijakan kriminal? Untuk menjawab tiga masalah penelitian di atas, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif naturalistik dengan pendekatan socio-legal. Studi ini menyimpulkan bahwa c arok adalah norma sosial yang mendapatkan dukungan sosial untuk menyelesaikan konflik bagi sebagian orang Madura. Selain itu, ini juga merupakan perwujudan keadilan, pilihan rasional dan budaya hukum beberapa orang Madura . Konstruksi budaya hukum Madura dicapai dengan (i) Memanfaatkan peran orang tua, kiyai, dan elit lokal untuk mengatasi carok; (ii) Menggunakan budaya musyawarah melalui pengajaran informal tentang hukum dan agama; (iii) Mempengaruhi pandangan orang bahwa keadilan main hakim sendiri sebenarnya adalah budaya hukum yang salah; (iv) Membangun kesadaran hukum dengan mengaktualisasikan Pancasila; dan (v) Berfungsinya Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau sistem peradilan informal untuk mengatasi masalah a quo. }, issn = {2655-6081}, pages = {40--63} doi = {10.14710/hp.7.1.40-63}, url = {https://ejournal.undip.ac.id/index.php/hukum_progresif/article/view/23612} }
Refworks Citation Data :
Tulisan ini mencoba mengungkap carok sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama, dan perselisihan atas tanah dan sumber daya alam di Madura. Meskipun ada banyak upaya untuk mengatasi keadilan main hakim sendiri ini, pada kenyataannya, tindakan ini tetap ada sampai sekarang. Oleh karena itu, gagasan untuk merekonstruksi budaya hukum beberapa orang Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila untuk menyelesaikan carok diharapkan mengubah situasi. Ada tiga (3) masalah penting yang dibahas, yaitu: (1) Mengapa beberapa orang Madura memilih carok sebagai solusi alternatif? (2) Apa persepsi sebagian orang Madura tentang penghinaan terhadap kehormatan dan harga diri manusia, istri, agama, dan perselisihan sumber daya alam sehingga mereka memilih carok sebagai solusi alternatif untuk menyelesaikan masalah? (3) Bagaimana merekonstruksi budaya hukum untuk mengatasi carok di Madura berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai alat kebijakan kriminal? Untuk menjawab tiga masalah penelitian di atas, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif naturalistik dengan pendekatan socio-legal. Studi ini menyimpulkan bahwa carok adalah norma sosial yang mendapatkan dukungan sosial untuk menyelesaikan konflik bagi sebagian orang Madura. Selain itu, ini juga merupakan perwujudan keadilan, pilihan rasional dan budaya hukum beberapa orang Madura. Konstruksi budaya hukum Madura dicapai dengan (i) Memanfaatkan peran orang tua, kiyai, dan elit lokal untuk mengatasi carok; (ii) Menggunakan budaya musyawarah melalui pengajaran informal tentang hukum dan agama; (iii) Mempengaruhi pandangan orang bahwa keadilan main hakim sendiri sebenarnya adalah budaya hukum yang salah; (iv) Membangun kesadaran hukum dengan mengaktualisasikan Pancasila; dan (v) Berfungsinya Lembaga Musyawarah Adat (LMA) atau sistem peradilan informal untuk mengatasi masalah a quo.
Article Metrics:
Last update:
The Mysticism of Cultural Education in Indonesia: Phenomenological Review of Nyabis in Madura
Last update: 2024-12-19 17:57:02
Authors who publish with this journal agree to the following terms:
Jurnal Hukum ProgresifDoctoral of Law Program, Faculty of Law, Universitas DiponegoroJalan Imam Bardjo, S.H., No.1, Semarang, Jawa Tengah, IndonesiaEmail: hukumprogresif@live.undip.ac.idWebsite: https://ejournal.undip.ac.id/index.php/hukum_progresif/index
Visitor Statisics