1Departemen Anestesiolgoi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi, Indonesia
2Semarang, Indonesia
BibTex Citation Data :
@article{JAI6567, author = {R. Nugroho and Abdul Siregar}, title = {Pengaruh Midazolam, Atrakurium Terhadap Fasikulasi Dan Kenaikan Kadar Kreatin Fosfokinase Akibat Suksinilkolin}, journal = {JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)}, volume = {1}, number = {2}, year = {2009}, keywords = {pretreatment; fasikulasi; mialgia; kenaikan cpk; suksinilkolin}, abstract = { Latar Belakang : Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment. Tujuan : Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium 0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkol in. Metode : Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54 penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03 mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin 1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk pemeriksaa n kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji korelasi dari Spearman. Hasil : Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p<0,01 ), mialgia ( p<0,01 ) dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase yang bermakna ( p<0,05 ). Pada kelompok midazolam terjadi penurunan kejadian mialgia yang bermakna ( p<0,01 ), sedikit kenaikan kadar kreatin fosfokinase ( p=0,086 ) dan tidak terjadi penurunan kejadian fasikulasi (p=0,125). Pada uji korelasi tehadap tiga variabel terikat hanya tampak korelasi bermakna antara mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (koef.kor = 0,034; p = 0,013). Kesimpulan : Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi. }, issn = {2089-970X}, doi = {10.14710/jai.v1i2.6567}, url = {https://ejournal.undip.ac.id/index.php/janesti/article/view/6567} }
Refworks Citation Data :
Latar Belakang: Pemakaian suksinilkolin sebagai fasilitas intubasi masih merupakan pilihan dalam anestesia, terutama untuk kasus emergensi dan rawat jalan. Efek samping yang sering timbul adalah fasikulasi, mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (CPK) darah. Atrakurium, seperti pelumpuh otot non depolarisasi lain, telah teruji sebagai baku emas pretreatment terhadap efek samping ini. Sedangkan Midazolam, yang populer sebagai obat premedikasi belum banyak diteliti sebagai pretreatment.
Tujuan: Membuktikan bahwa pretreatment midazolam 0,03 mg/KgBB atau atrakurium 0,05 mg/KgBB dapat mengurangi fasikulasi, mialgia, dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah akibat pemberian suksinilkol in.
Metode: Penelitian ini dirancang untuk uji klinis acak tersamar ganda terhadap 54 penderita yang akan menjalani operasi elektif, usia 16 – 40 tahun, status fisik ASA I-II dan memenuhi kriteria inklusi. Sebelum mendapat obat pretreatment, dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan kadar kreatin fosfokinase pra perlakuan. Penderita dibagi menjadi tiga kelompok sesuai pretreatment yang diberikan, yaitu midazolam 0,03 mg/KgBB iv, atrakurium 0,05 mg/KgBB iv dan kontrol mendapat NaCL 0,9%. Tiga menit kemudian semua penderita diinduksi dengan Tiopental 4-5 mg/KgBB iv dan suksinilkolin 1,5 mg/KgBB iv. Fasikulasi yang timbul dinilai, dilanjutkan dengan intubasi. Duapuluh empat jam pasca operasi dilakukan penilaian mialgia dan pengambilan darah untuk pemeriksaa n kadar kreatin fosfokinase pasca perlakuan. Uji statistik menggunakan uji Anova – Post hoc Bonferroni dan uji Kai kuadrat – Wilcoxon Signed Rank serta uji korelasi dari Spearman.
Hasil: Data karakteristik penderita berbeda tidak bermakna pada ketiga kelompok. Pada kelompok atrakurium terjadi penurunan kejadian fasikulasi ( p<0,01 ), mialgia ( p<0,01 ) dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase yang bermakna ( p<0,05 ). Pada kelompok midazolam terjadi penurunan kejadian mialgia yang bermakna ( p<0,01 ), sedikit kenaikan kadar kreatin fosfokinase ( p=0,086 ) dan tidak terjadi penurunan kejadian fasikulasi (p=0,125). Pada uji korelasi tehadap tiga variabel terikat hanya tampak korelasi bermakna antara mialgia dan kenaikan kadar kreatin fosfokinase (koef.kor = 0,034; p = 0,013).
Kesimpulan: Atrakurium sebagai pretreatment terbukti efektif mengurangi fasikulasi, mialgia maupun kenaikan kadar kreatin fosfokinase darah. Midazolam sama efektifnya dengan atrakurium dalam hal mengurangi mialgia, namun kurang efektif untuk mengurangi kenaikan kadar kreatin fosfokinase dan tidak efektif untuk mencegah fasikulasi.
Article Metrics:
Last update:
Last update: 2024-11-24 17:43:24
The Authors submitting a manuscript do so on the understanding that if accepted for publication, copyright of the article shall be assigned to JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) and Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of Medicine, Diponegoro University as publisher of the journal. Copyright encompasses exclusive rights to reproduce and deliver the article in all form and media, including reprints, photographs, microfilms, and any other similar reproductions, as well as translations.
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) and Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of Medicine, Diponegoro University and the Editors make every effort to ensure that no wrong or misleading data, opinions or statements be published in the journal. In any way, the contents of the articles and advertisements published in JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) are the sole and exclusive responsibility of their respective authors and advertisers.
The Copyright Transfer Form can be downloaded here:[Copyright Transfer Form JAI]. The copyright form should be signed originally and send to the Editorial Office in the form of original mail, scanned document:
Mochamat (Editor-in-Chief)
Editorial Office of JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia)
Department of Anesthesiology and Intensive Therapy, Faculty of Medicine, Diponegoro University/ Dr. Kariadi General Hospital Medical Center (RSUP Dr. Kariadi)
Jl. Dr. Soetomo No. 16 Semarang, Central Java, Indonesia, 50231
Telp. : (024) 8444346
Email : janestesiologi@gmail.com
View My Stats
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License