skip to main content

Peranan Pemerintah dalam Pengembangan Wayang Orang Panggung

*Dhanang Respati Puguh orcid scopus  -  Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University, Indonesia
Mahendra Pudji Utama orcid scopus  -  Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro University, Indonesia
Open Access Copyright (c) 2018 Jurnal Sejarah Citra Lekha under http://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0.

Citation Format:
Abstract

This article aims to discuss the role of the government in developing Wayang Orang Panggung especially in the Sriwedari community in Surakarta, Ngesti Pandowo in Semarang, and Bharata in Jakarta. This article based on the historical method. Since the beginning of Indonesian independence, the government carried out its function as a protector to maintain the existence of Wayang Orang Panggung, by improving the management of the performing arts, establishing the performance building, providing funding assistance, giving opportunities to perform at the state capital, and involving the artists of Wayang Orang in cultural missions. However, the government tended to be partial and more often conducted as a momentary response that must be addressed immediately because of it impossible to solve the community itself. Changes happened due to economic globalization and political dynamics in Indonesia that can threaten the existence of wayang orang and various forms of traditional arts. It raised hopes that the government could take the more fundamental role as patron-arts. In carrying out this function, the government requires a formulation on cultural policy as a basis for establishing the direction and strategy for the development and strengthening Wayang Orang Panggung and various forms of local culture, within the framework of national culture. The legal needed to carry out, UU RI No. 17 of 2017 about the Cultural Advancement, and Presidential Regulation No. 65 of 2018 concerning the Procedures for the Principles of Regional Culture and Cultural Strategies.

Fulltext View|Download
Keywords: Wayang Orang Panggung; Sriwedari; Ngesti Pandowo; Bharata; Cultural Policy.

Article Metrics:

  1. “1 Djuli 1937-1 Djuli 1962: 25 Tahun Ngesti Pandowo”. Suara Merdeka, 13 Djuli 1962
  2. “70 Tahun Ngesti Pandowo: Dulu Penonton Harus Pesan Tempat Duduk”. Suara Merdeka, 3 Juli 2007
  3. “Anak-anak Ngesti Dulu dan Kini Dari Kediri sampai Bandung Bandawasa”. Suara Merdeka, 20 November 1996
  4. Aulia, Dea Duta (2017). “Bhawa-Rasa-Tala (Bharata): Perkembangan Kelompok Wayang Orang Komersial di Jakarta, 1972-2014. Skripsi Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
  5. “Bantuan untuk Ngesti Pandowo Tidak akan Menyelesaikan Masalah”. Suara Merdeka, 23 Oktober 1982
  6. “Bantuan Walikota pada Ngesti Pandowo Perlu Dipertimbangkan”. Suara Merdeka, 8 November 1982
  7. “Bharata Lakon Sumatri Main Fesbuk”. Kompas, 17 Januari 2010
  8. Black, Jeremy dan Donald M. MacRaild (2007). Studying History. New York: Palgrave Macmillan
  9. Brandon, James R. (2003). Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara. Terjemahan oleh R.M. Soedarsono. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Seni Universitas Pendidikan Indonesia
  10. Cohen, Matthew Isaac (2007). “Contemporary Wayang in Global Contexs”, Asian Theatre Journal 24 (2 ): 338-369
  11. “Gedung Ki Nartosabdo Diresmikan”. Suara Merdeka, 28 Juli 1998
  12. “GRIS-Ngesti Pandowo Sebatas Pemilik dan Penyewa”. Suara Merdeka, 9 Maret 2000
  13. Hersapandi (1994). “Etnis Cina dan Wayang Orang Panggung Komersial: Suatu Kajian Sosio-Historis”, Seni Pertunjukan Indonesia Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Jakarta: Kerja sama Masyarakat Seni Pertunjukaan Indonesia dengan Grasindo
  14. Hersapandi (1999). Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia
  15. Hersapandi (2002). “Wayang Orang Bharata dalam Dimensi Kota Metropolitan Jakarta”, Ekspresi, Vol. 6, Tahun 3. Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia Yogyakarta, hlm. 34-47
  16. “Ingkang Remen Ringgit Tiyang Saya Sekedhik”. Jaya Baya, No. 5 Th. XXXIV, 30 September 1979
  17. Jamiel, M. Mukhsin, Khoirul Anwar, dan Abdul Kholiq (2011). “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lunturnya Kesenian Tradisional Semarang: Studi Eksplorasi Kesenian Tradisional Semarang”, Riptek 5 (II)
  18. “Jangan Asingkan Ngesti dari Penonton”. Suara Merdeka, 22 November 1996
  19. Jonkie Tio (2005). Kota Semarang dalam Kenangan. Semarang: Sinar Kartika
  20. Kayam, Umar (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat, Seri Esni No. 3. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan
  21. Kayam, Umar. “Ngesti Pandowo: Suatu Persoalan Kitsch di Negara Berkembang”. Kompas, 20 Oktober 1982
  22. Kayam, Umar (2000). “Transformasi Budaya Kita”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada pada 19 Mei 1989, dalam Senat Universitas Gadjah Mada, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada: Ilmu-Ilmu Humaniora, 1949-1999. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  23. Lindsay, Jennifer (1995). “Cultural Policy and the Performing Arts in Southeast Asia”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151-IV: 659
  24. Lindsay, Jennifer (2011). “Menggelar Indonesia di Luar Negeri”, Jennifer Lindsay dan Maya H. T. Liem, ed., Ahli Waris Budaya Dunia: Menjadi Indonesia 1950-1965. Jakarta-Denpasar: KITLV dan Pustaka Larasan
  25. Lindström, Lisbeth (2013). “National Cultural Policies: The Swedish Case”, International Journal of Asian Social Science 3 (3): 818
  26. Mengenal Kotamadya Semarang (1968). Semarang: Panitia Pekan Pameran Ekonomi dan Kebudayaan Kodya Semarang 1968
  27. “Menjenguk Wayang Orang Bharata: sebagai Tontonan Semakin Tersisih”. Kompas, 21 Januari 1979
  28. “Nartosabdo: Gubernur Bantu “Ngesti Pandowo” Beli Pengeras Suara”. Suara Merdeka, 10 Januari 1985
  29. “Ngesti Pandawa Gagal Terima Dana Hibah”, dalam http://www.berita.suaramerdeka. com/ngesti-pandawa-gagal-terima-dana-hibah-2/, diakses 25 Agustus 2016
  30. “Ngesti Pandowo Benar-benar Gonjang Ganjing”. Suara Merdeka, 7 Februari 1990
  31. “Ngesti Pandowo di Panggung Kehidupan Nyata”, dalam Tjiptadihardja dan Soeratno (1992). “Ngesti Pandowo: Sejarah dari Masa ke Masa”. Naskah Tidak Diterbitkan
  32. “Ngesti Pandowo Masih Defisit Rp 5,5 Juta Per Bulan”. Suara Merdeka, 12 Mei 2000
  33. Osterhammel, Jürger dan Niels P. Petersson (2005). Globalization a Short History. Princeton dan Oxford: Princeton University Press
  34. Panitia Peringatan 9 Windu Paguyuban Wayang Orang Ngesti Pandowo (2009). Buku Kenangan Sembilan Windu Ngesti Pandowo. Semarang: Paguyuban Wayang Orang Ngesti Pandowo
  35. Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 10 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Kota Surakarta
  36. Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 14 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 6 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta
  37. Peraturan Daerah Kota Surakarta No. 6 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta
  38. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 2 Tahun 1987 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pariwisata Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta
  39. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta No. 23 Tahun 1981 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta
  40. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah
  41. Puguh, Dhanang Respati (2003). “Mangkunagara IV sebagai Maecenas: Peranannya dalam Pengembangan Seni Tradisi Jawa” dalam Resi yang Menyepi: Kumpulan Karangan Persembahan untuk Prof. Dr. Karyana Sindunegara. Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro
  42. Puguh, Dhanang Respati (2015). “Mengagungkan Kembali Seni Pertunjukan Tradisi Keraton: Politik Kebudayaan Jawa Surakarta, 1950an-1990an”. Disertasi pada Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Unioversitas Gadjah Mada
  43. Puguh, Dhanang Respati, et al. (2009). “Laporan Akhir Naskah Akademik tentang Pelestarian, Pengembangan, dan Pemanfaatan Seni dan Upacara Tradisi di Kota Semarang”. Semarang: Kerja sama PT Puspa Delima Muliatama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang
  44. Puguh, Dhanang Respati, Rabith Jihan Amaruli, Mahendra Pudji Utama (2017). “Teater Kitsch Ngesti Pandowo di Kota Semarang Tahun 1950-an-1970-an”, Mozaik Humaniora 17 (1): 1-25
  45. Rusini (2003). Gathutkaca di Panggung Soekarno. Surakarta: STSI Press
  46. Rustopo (2007). Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta, 1895-1998. Yogyakarta: Ombak
  47. “Siswa Diwajibkan Nonton Wayang Orang”. Suara Merdeka, 9 Juni 2010
  48. Smiers, Joost (2009). Art Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insist Press
  49. Soedarsono, R. M. (1997). Wayang Wong Drama Tari Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  50. Soedarsono, R. M. (2003). Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  51. Soedarsono, R. M. dan Tati Narawati (2011). Dramatari di Indonesia, Kontinuitas dan Perubahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  52. Suara Merdeka, 13 Februari 1962
  53. Sudjono, Irwan. “Taman Sri Wedari Mati (?)”, Mekar Sari, No. 26 Th. XXXII, 8 Februari 1989
  54. Sudyarsana, Handung Kus. “Wis Akeh Bantuan Lestarine Wayang Wong”, Mekar Sari, No. 23 Th. XXXIV, 8 Agustus 1990
  55. Sulistiyono, Singgih Tri (2018). “Nasionalisme, Negara-Bangsa, dan Integrasi Nasional Indonesia: Masih Perlukah?”, Jurnal Sejarah Citra Lekha 3 (1)
  56. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Chusus Ibukota Djakarta No. Ca.3/1/42/72 tentang Penjelenggaraan Pertundjukan Wajang Orang pada Gedung di Djl. Kalilio No. 115 Djakarta
  57. Tjiptadihardja dan Soeratno (1992). “Ngesti Pandowo: Sejarah Dari Masa ke Masa”. Naskah Tidak Diterbitkan
  58. “Transkrip Wawancara dengan Tohiran”. Wawancara dilakukan oleh Susanto pada 14 Februari 1996
  59. Tjiptadihardja, Wawancara pada 12 Agustus 2009
  60. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan
  61. “Wajang Wong Saiki Meh Akeh kang Ora Beda Karo Sandiwara”, Djajabaja, No. 25, Taun XXIV, 1 Maret 1970
  62. “Walikota Prihatin Kondisi Gedung Ngesti Pandowo”, Suara Merdeka, 24 Juli 1981
  63. Widyastutieningrum, Sri Rochana (2018). “Reviving Wayang Orang Sriwedari in Surakarta: Tourism-Oriented Perfor-mance”, Asian Theatre Journal 35 (1): 100-111
  64. Yampolsky (1987). Lokananta A Discography of the National Recording Company of Indonesia 1957-1985. Madison, Wisconsin: Center for Southeast Asian Studies University of Winconsin
  65. Yampolsky, Philip (2001). “Can the Traditional Arts Survive, and Should They?”, Indonesia 71 (April)
  66. “Yayasan GRIS agar Memperingan Sewa Gedung utk Ngesti Pandowo”, Suara Merdeka, 14 Oktober 1982

Last update:

  1. Historical Review of Smallholder Coffee Farmers Population in Kayumas Village, Situbondo Regency

    Latifatul Izzah, Yety Rochwulaningsih, IG Krisnadi, Denny Antyo Hartanto, Insan Cita Sampurna. Indonesian Historical Studies, 7 (1), 2023. doi: 10.14710/ihis.v7i1.17370

Last update: 2024-12-23 01:32:01

  1. Regeneration of Sriwedari wayang orang art-observers: Opportunities and challenges

    Warto . Pertanika Journal of Social Sciences and Humanities, 27 (2), 2019.