BibTex Citation Data :
@article{JSCL15596, author = {Langgeng Budi}, title = {Bersekolah di Tanah Pengasingan: Boven Digul, 1927-1943}, journal = {Jurnal Sejarah Citra Lekha}, volume = {2}, number = {2}, year = {2017}, keywords = {Boven Digul;Pendidikan; Kamp Pengasingan; Tahanan Politik; Papua}, abstract = { Artikel ini membahas tentang penyelenggaraan pendidikan di kamp pengasingan Boven Digul pada periode antara tahun 1927-1943. Beberapa persoalan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mengenai jenis sekolah yang didirikan di Boven Digul, para pelaku dalam proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah itu, dan dampak dari keberadaan sekolah-sekolah itu baik bagi para penghuni kamp maupun masyarakat Boven Digul. Metode Sejarah dengan pendekatan sosiologis digunakan dalam penelitian ini, dengan sumber berupa arsip dan wawancara. Kamp pengasingan Boven Digul didirikan oleh pemerintah Belanda dan dioperasikan mulai dari 1927 sampai dengan 1943. Tahanan politik yang diasingkan di kamp ini pada awalnya adalah mereka yang terlibat dalam pemberontakan komunis di Banten (Jawa Barat) dan Sumatera Barat pada 1926-1927. Namun, pada tahun-tahun berikutnya para tokoh nasionalis juga menjadi penghuni kamp itu. Para tahanan diizinkan untuk membawa keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di kamp pengasingan, pemerintah kolonial Belanda pada 1927 mendirikan Standaardschool , dan kemudian menjadi Standaardschool met Nederlandsch . Kelompok tahanan naturalis ten juga diizinkan untuk mendirikan sekolah bernama Malay English School (MES), yang kemudian menjadi sekolah “tiga keluarga”, diadakan di rumah-rumah para tahanan. Pada 1940-an, murid-murid dari sekolah “tiga keluarga” dimasukkan ke S tandaardschool , sebab banyak guru yang beralih profesi. Mereka mencari nafkah lain ketika suplai bantuan menurun akibat blokade Jepang terhadap perairan di sekitar Papua. Baik Standaardschool , MES maupun sekolah “tiga keluarga” hanya diperuntukkan bagi keluarga para tahanan politik. Oleh karena itu, keberadaan sekolah-sekolah itu tidak memberi pengaruh pada masyarakat asli di sekitar kamp pengasingan. }, issn = {2443-0110}, pages = {112--125} doi = {10.14710/jscl.v2i2.15596}, url = {https://ejournal.undip.ac.id/index.php/jscl/article/view/15596} }
Refworks Citation Data :
Artikel ini membahas tentang penyelenggaraan pendidikan di kamp pengasingan Boven Digul pada periode antara tahun 1927-1943. Beberapa persoalan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah mengenai jenis sekolah yang didirikan di Boven Digul, para pelaku dalam proses belajar-mengajar di sekolah-sekolah itu, dan dampak dari keberadaan sekolah-sekolah itu baik bagi para penghuni kamp maupun masyarakat Boven Digul. Metode Sejarah dengan pendekatan sosiologis digunakan dalam penelitian ini, dengan sumber berupa arsip dan wawancara. Kamp pengasingan Boven Digul didirikan oleh pemerintah Belanda dan dioperasikan mulai dari 1927 sampai dengan 1943. Tahanan politik yang diasingkan di kamp ini pada awalnya adalah mereka yang terlibat dalam pemberontakan komunis di Banten (Jawa Barat) dan Sumatera Barat pada 1926-1927. Namun, pada tahun-tahun berikutnya para tokoh nasionalis juga menjadi penghuni kamp itu. Para tahanan diizinkan untuk membawa keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan di kamp pengasingan, pemerintah kolonial Belanda pada 1927 mendirikan Standaardschool, dan kemudian menjadi Standaardschool met Nederlandsch. Kelompok tahanan naturalisten juga diizinkan untuk mendirikan sekolah bernama Malay English School (MES), yang kemudian menjadi sekolah “tiga keluarga”, diadakan di rumah-rumah para tahanan. Pada 1940-an, murid-murid dari sekolah “tiga keluarga” dimasukkan ke Standaardschool, sebab banyak guru yang beralih profesi. Mereka mencari nafkah lain ketika suplai bantuan menurun akibat blokade Jepang terhadap perairan di sekitar Papua. Baik Standaardschool, MES maupun sekolah “tiga keluarga” hanya diperuntukkan bagi keluarga para tahanan politik. Oleh karena itu, keberadaan sekolah-sekolah itu tidak memberi pengaruh pada masyarakat asli di sekitar kamp pengasingan.
Article Metrics:
Last update:
Venereal Diseases Treatment for Merauke’s Marind (Marind-Anim) Tribe in the Dutch Colonial Period
Last update: 2024-11-18 08:04:10
Published by Department of History, Faculty of Humanities, Diponegoro UniversityJl. Prof. Soedarto, S.H. Tembalang, Semarang, Central Java 56025Phone: +6224-74680619; Fax: +6224-74680619Email: jscl@live.undip.ac.id View statistics